Radiologi Dental
Perbandingan CBCT dan Radiografi
Konvensional Dalam Deteksi Kasus Gigi Supernumerari
PENDAHULUAN
Dalam dunia kedokteran gigi
seringkali ditemukan adanya kelainan pada gigi dan rongga mulut. salah
satu dari banyak kelainan tersebut adalah insidensi gigi supernumerary atau
keberadaan jumlah gigi yang melebihi jumlah normal. Namun, secara klinis adanya
gigi supernumerary sering ditemukan dalam keadaan tidak bererupsi atau impaksi.
Dengan keadaan seperti ini, seorang dokter gigi akan kesulitan dalam melakukan
diagnose kasus gigi supernumerari dalam keadaan impaksi jika hanya mengandalkan
pemeriksaan secara objektif saja. Untuk mendeteksi adanya kelainan tersebut
lebih lanjut, pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk kepentingan
diagnose dan untuk mengetahui kondisi gigi dan jaringan sekitarnya yang lebih
spesifik. Pemeriksaan penunjang yang sering digunakan adalah pemeriksaan dengan
menggunakan gambaran radiografi.
Radiografi dalam kedokteran gigi
telah sering digunakan untuk mendukung penentuan diagnose dari suatu penyakit
atau kelainan. Umumnya radiografi yang sering digunakan adalah jenis radiografi
konvensional. Pemilihan ini berdasarkan atas penggunaan mesin radiografi yang
mudah dan juga harga yang realif murah sehingga radiografi konvensional sering
dijadikan sebagai pemeriksaan penunjang. Namun, walaupun memiliki kuntungan
seperti apa yang telah disampaikan, radiografi konvensional ini memiliki
beberapa kekurangan dimana kekurangan tersebut dapat mempengaruhi akurasi dari
keadaan onjek yang sebenarnya sehingga dapat mempengaruhi suatu tetapan
diagnose.
Pada saat ini, telah berkembang
suatu teknik pencitraan 3-dimensi yang berbasis computasi yaitu cone-beam
computed tomograph (CBCT). Hasil pencitraan yang dihasilkan berbetuk
suatu gambaran 3-dimensi.
Dalam makalah ini kami akan
menerangkan kajian dari jurnal yang didapatkapn denga satu jurnal utama yang
berjudul “Three-dimensional evaluation of supernumerary teeth using cone-beam
computed tomography for 487 cases” dan dua jurnal pendukung lainnya
dengan judul “ Reliability of panoramic radiographs for identifying
supernumerary teeth in children” dan “supernumerary teeth in indian
children: A survey of 300 case”.
II.1 Gigi Supernumerari
Gigi supernumerari adalah anomali dimana
jumlah gigi melebihi jumlah normal. Etiologi belum diketahui secara pasti,
tetapi dalam jurnal diterangkan bahwa etiologi dari gigi supernumerary adalah :
1. adanya pergerakan dental lamina yang
sangat cepat
2. adanya gigi yang mengalami pembelahan
pada fase bud stage
3. factor herediter
4. factor gender sebagai kecenderungan
insidensi gigi supernumerari
(Sharma dan Singh,2012)
Gigi supernumerari memiliki banyak variasi,
ukuran, dan bentuk. Umumnya berbentuk kerucut selain itu supplemental,
tuberkel, bentuk molar, incisor like, germinate premolar, molar like (Liu et
al, 2007). Morfologi gigi suoernumerari Supplemental adalah tipe gigi
supernumerary yang menyerupai gigi normal dan terjadi pada akhir rangkaian
gigi, misalnya penambahan gigi insisivus lateral, premolar kedua, atau molar
keempat. Menurut Liu et al. tahun 2007 terdapat bentuk incisor-like,
premolar-like, geminated-premolar-like dan molar-like. Selain
itu terdapat bentuk konus atau peg-shaped bentuk ini
sering terjadi di antara gigi insisivus sentral rahang atas. Umumnya terkait
dengan perubahan letak gigi yang berdekatan, tapi juga dapat tidak erupsi atau
tidak memiliki efek sama sekali. Bentuk tuberkel adalah tipe yang dijelaskan
sebagai barrel-shaped, tetapi biasanya kebanyakan gigi
supernumerari yang tidak termasuk kategori konus atau supplemental masuk dalam
kategori ini. Tipe ini sering mengalami kegagalan erupsi. Kemudian terdapat
bentuk odontoma variasi ini sangat jarang jarang. Compound or complex
form.
Gigi supernumerary dapat terjadi di daerah maksila dan
mandibular juga pada periode gigi desidui maupun gigi permanen. Gigi
supernumerary bisa terjadi secara unilateral, bilateral, dari dua rahang atau
satu rahang. Sering kali ditemui dalam keadaan impaksi daripada dalam keadaan
erupsi (Sharma dan Singh, 2012). Gigi supernumerary sebesar 90-98% ditemukan
pada rahang atas. GIgi supernumerary, dapat dibedakan menjadi Single
supernumerary, double supernumerary, dan multiple supernumerary. Rata-rata dari
kasus supernumerary, single supernumerary merupakan kasus yang sering terjadi
yakni sebesar 79%, diikuti 20% untuk double supernumerary, dan 1 % untuk
multiple supernumerary. Dan pada umumnya, gigi supernumerary dalam keadaan
impaksi (Sharma dan Singh,2012). Umumnya, sebesar 83,5% gigi supernumerary
mempunyai berbentuk conical, atau berbentuk pasak. Bentuk lainnya dapat
menyerupai bentuk gigi asli, tetapi ini merupakan hal yang jarang ditemui.
Selain itu Posisi gigi supernumerary
dapat terjadi dalam arkus, tetapi saat berkembang di antara gigi insisivus
sentral dikenal sebagai mesiodens. Gigi supernumerari yang berada dari distal
arkus disebut distomolar, dan gigi supernumerari yang berdekatan dengan molar
dikenal sebagai paramolar. Gigi supernumerari biasanya ditemukan pada rahang
atas, komplikasi yang sering terjadi akibat adanya gigi supernumerari adalah
adanya diastema yang abnormal, resorpsi akar, pembentukan kisat dentigerous
(Liu et al, 2007).
Keberadaan gigi supernumerary
biasanya dapat menimbulkan dampak pada rongga mulut. adapun dampaknya yaitu :
1. Kegagalan erupsi
Keberadaan gigi supernumaerari adalah alasan utama untuk gigi
insisivus sentral maksila yang tidak muncul. Tetapi, kegagalan erupsi banyak
gigi pada kedua arkus dapat disebabkan supernumerari. Manajemen masalah ini
adalah dengan menghilangkan gigi supernumerari dan yakin bahwa terdapat ruang
untuk mengakomodasi gigi yang tidak erupsi dalam arkus. Jika gigi tidak
erupsi secara spontan dalam 1 tahun, diperlukan operasi kedua untuk
memunculkannya dan melakukan perawatan ortodontik.
2.Perubahan letak
Keberadaan gigi supernumerari dapat dikaitkan dengan perubahan
letak atau rotasi dari gigi permanen yang erupsi. Manajemen yang dilakukan
pertama kali adalah menghilangkan gigi supernumerari, biasanya diikuti alat
ortodontik cekat untuk meratakan gigi yang dipengaruhi.
3.Crowding
Hal ini disebabkan oleh tipe supplemental dan dirawat dengan
menghilangkan gigi yang bentuknya paling buruk.
Tidak ada efek.
adakalanya gigi supernumerari (biasanya tipe
konus) dideteksi secara tidak sengaja pada radiograf regio insisivus rahang
atas. Gigi ekstra tersebut tidak mengganggu letak gigi insisivus rahang atas,
sehingga dapat dibiarkan in situ pada pengamatan radiografi.
Gigi ini biasanya asimptomatik dan tidak terlihat menimbulkan masalah
(Mitchell, 2007).
Berikut adalah gambaran gigi supernumerary
secara klinis :
II.2 cone-beam computed tomography (CBCT)
Cone beam computed tomography (CBCT) merupakan sistem foto radiografi berkualitas
tinggi yang digunakan untuk diagnosa, berupa gambaran 3 dimensi yang akurat,
dan dapat memberikan gambaran mengenai elemen-elemen tulang yang ada pada
kerangka maksilofasial. Sistem CBCT dapat memberikan gambaran sampai dengan
ukuran yang kecil dan dengan dosis radiasi yang rendah tetapi dengan hasil resolusi
yang memadai juga dapat digunakan untuk melakukan diagnose, sebagai
panduan perawatan serta untuk evaluasi paska perawatan. ada bidang kedokteran
gigi gambaran 3 dimensi merupakan hal yang penting, CBCT telah dipertimbangkan
untuk menjadi salah satu prosedur standard perawatan .
Selain itu juga CBCT scan dapat memeberikan akurasi lebih baik dari penilaian
3-dimensi utnuk memberikan prediksi hasil perawatan yang lebih baik dan
mengurangi resiko yang terkait dengan gigi impaksi. Hal ini dapat dikaitkan
dengan gigi supernumerary yang sering ditemukan dalam keadaan impaksi. CBCT
dapat memvisualisasikan posisi gigi yang mengalami impaksi dan memberikan
gambaran dengan struktur sekitarnya dan gigi yang terletak didekatnya. Selain
itu CBCT dapat digunakan dalam mempertimbangkan prognosis dari suatu perawatan
karena memiliki kaurasi yang lebih tinggi.
CBCT terdiri sumber x-ray dan
juga detektor yang terpasang pada alat yang dapat
berputar (gambar 1). Sumber radiasi ionisasi berbentuk pyramid divergen
atau berbentuk cone (kerucut) diarahkan pada
bagian tengah daerah yang diinginkan dan mengarah pada x-ray detektor yang
dipasangkan berlawanan arah dari sisi pasien. Sumber x-ray dan detektor akan
berputar pada titik tumpuannya memutari daerah yang diinginkan (ROI).
Selama sekuens eksposur yang dilakukan didapat ratusan gambar yang nantinya
akan menjadi bidang pandangan pada gambaran yang didapatkan (FOV) dengan
luas pandang lebih kurang 1800. Hanya dengan satu kali putaran saja, CBCT
akan menghasilkan gambaran radiografis 3D yang sesuai dengan cepat
dan akurat. Pemaparan CBCT bersamaan dengan FOV secara keseluruhan
hanya dengan dengan satu kali putaran, telah cukup untuk memperoleh data
gambar yang akan direkonstruksi nantinya. CBCT mampu menghadirkan
resolusi submilimeter spatial dari gambar craniofacial kompleks dengan waktu
singkat disbanding teknik radiografi panoramik selain itu dosis pemaparan lebih
rendah dibanding teknik fan beam atau helical computed tomografi. (Schulze D,
et al., 2004).
kelebihan dari CBCT adalah menggunakan dosis
yang lebih kecil daripada CT biasa, waktu pelaksanaannya juga pendek, yakni
10-70 detik saja. Kekontrasan CBCT juga tinggi dan lebih nyaman digunakan.
(Epsilawati, 2007).CBCT sangat tepat untuk mencitrakan area kraniofasial.
Gambar yang didapatkan jelas dengan struktur yang kontrasnya tinggi dan sangat
berguna untuk mengevaluasi tulang. (Scarfe, 2006).
Penggunaan CBCT untuk diagnosis gigi
supernumerari sangat dianjurkan. Dengan CBCT maka dapat dihindari kesalahan
posisi dari struktur gigi dan skeletal, mengetahui posisi pasti gigi
supernumerari, dan dapat diperoleh gambaran jaringan lunak gigi (Liu, et.al,
2007). Selain itu, CBCT juga dapat digunakan untuk mendeteksi jumlah total gigi
supernumerari, mengetahui posisi pasti gigi supernumerari sehingga
mengkonfirmasi diagnosis (Anthonappa, 2011).
Lapangan pandang alat cone beam CT ini
terbatas, tergantung dari jenis pesawatnya dan tidak dapat diatur seperti pada
CT konvensional yang memiliki lapangan pandang jauh lebih luas. (Epsilawati,
2007) Selain itu, harganya relatif mahal dan radiasi yang digunakan juga agak
lebih tinggi. (Liu, et.al., 2007).
Interpretasi gigi supernumerari yang terlihat
dari gambaran yang dihasilkan oleh CBCT adalah merupakan suatu gambaran
3-dimensi. Dimana pada gambaran 3-dimensi ini sangat jelas terliat bagaimana
hubungan gigi supernumerary terhadap jaringan sekitarnya. Tidak terdapatnya
gambaran superimposisi pada gambaran radiografi CBCT memberikan akurasi yang
tinggi untuk mendiagnosa kasus gigi supernumerari dengan melihat letak, bentuk,
ukuran serta relasi dengan jeringan sekitarnya. Berikut adalah gambaran gigi
supernumerari dengan menggunakan pencitraan CBCT .
pada gambaran yang dihasilkan oleh CBCT sangat
jelas terlihat gambara radiografi gigi supernumerari merupakan suatu gambaran
radiopak seperti yang ditunjuk oleh anak panah. Terlihat sangat jelas hubungan
gigi supernumerary dengan gigi tetangganya dan jaringan lunak sekitarnya.
II.3 Radiografi Konvensional
Radiografi konvensiaonal adalah
radiografi dengan hasil gambar 2-Dimensi dengan cara prosesing atau pencetakan
film yang masih manual. Pencitraan radiografi konvensional sering diperlukan
sebagai diagnose penunjang dari berbagai kasus yang sering terjadi dalam dunia
kedokteran maupun kedokteran gigi. Dalam dunia kedokteran gigi, terdapat dua
jenis radiografi yaitu radiografi intraoral dan ekstraoral. Radiografi
intraoral seperti radiografi periapikal, bitewing dan oklusan. Sedangkan
radiografi ekstraoral seperti radiografi panoramic (OPG) dan radiografi sefalometri.
Keduanya merupakan radiografi konvensional yang sering digunakan dalam diagnose
penunjang. Seperti pada jurnal utama menjelaskan bahwa Radiografi konvensional
yang biasanya digunakan untuk mendiagnosa gigi supernumerari adalah pemeriksaan
radiologi periapikal, panoramik, oklusal, dan sefalometri. Gambaran film yang
diambil secara oklusal ataupun periapikal menunjukan gambaran yang rinci pada
gigi anterior sedangkan untuk area buko-lingual biasanya menggunakan teknik
paralaks, yaitu tabung dengan posisi horizontal. (Deng-gao, dkk, 2007). Namun
pada dua jurnal pendukung hanya 2 teknik radiografi yang digunakan untuk
menegakan diagnosis gigi supernumerary yaitu : Radiografi oklusal dan
Radiografi Panoramik.
Radiografi periapikal merupakan teknik
intraoral yang dirancang untuk menunjukkan gigi individu dan
jaringan di sekitar apeks. Setiap film biasanya menunjukkan 2-4 gigi dan
memberikan informasi rinci tentang gigi dan tulang alveolar sekitarnya. (White,
2007). Sehingga tidak dapat menegakan diagnosis secara pasti mengenai lokasi
dari gigi supernumerary secara jelas.
Radiografi panoramik sangat populer dalam teknik kedokteran
gigi. Hal ini dikarenakan Semua gigi dan struktur pendukungnya yang
ditampilkan pada satu film, teknik ini cukup sederhana serta dosis radiasi yang
relatif rendah. (White, 2007).
Radiografi panoramik adalah
langkah mengidentifikasi, lokasi dan bedah ekstraksi gigi supernumerary.
(allan, 2007). Hal, tersebut juga di dukung pada jurnal (Sharma dan
Singh,2012). yang mengatakan bahwa kebanyakan dokter gigi menggunakan
radiografi panoramik sebagai pilihan pertama meraka karena radiografi panoramik
merupakan suatu prosedur yang non-invasif yang dapat ditolerir oleh kebanyakan
anak-anak. Selain itu dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai
wilayah dento-maxillo-facial. Termasuk dalam kasus supernumerary teeth
(hiperdontia).
Radiografi oklusal didefinisikan sebagai
radiografi intraoral yang tekniknya diambil menggunakan gigi sinar-X. Dimana
paket film (5,7 x 7,6 cm) atau kaset kecil intraoral yang ditempatkan pada
bidang oklusal. Radiografi Oklusal dapat mendeteksi adanya gigi taring tidak
erupsi, supernumerary dan odontomes. (White,2007). Prinsipnya oblik oklusal ini
dapat untuk melihat sampai di bagian apeks, gigi supernumerary. (Gunawan,
1998).
Pada jurnal (Sharma dan Singh,2012). tercatat
banyak kasus gigi supernumerary yang terlihat dari radiografi oklusal yang
ditinjau dari arah oklusal. Seperti impaksi supernumerary, kagaglan erupsi gigi
normal yang dikarenakan adanya gigi supernumerary berbentuk kerucut, dan kasus
lainnya yang diambil dari survey 300 kasus pada anak-anak.
CARA KERJA RADIOGRAFI KONVENSIONAL
Teknik radiografi konvensional yang sering
digunakan untuk mendeteksi gigi supernumerary ialah radiografi panoramik (OPG)
dan radiografi oklusal. Radiografi konvensional ini hanya memiliki
pencitraan sebatas 2 dimensi. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh cara
kerja dari pengambilan gambar pada radiografi konvensional itu sendiri. Sumber
sinar yang digunakan hanya satu arah saja yang mana akan menumbuk pada objek
(gigi-geligi) dan akan ditangkap oleh film.
Pada teknik pengambilan gambar
radiografi panoramik, objek (kepala) berada pada posisi statis / diam, sedangkan
sumber sinar / target dan film bergerak memutar secara bersamaan dan dinamis.
Sinar akan menumbuk struktur gigi-geligi dari arah lateral menutu mesial dan
kembali ke sisi lateral yang lain. Sinar yang telah memapar pada fasial dan
gigi-geligi, akan ditangkap oleh film panoramik yang bergerak, yang ukurannya
cukup panjang. Dengan demikian akan terbentuk gambaran struktur fasial dan
gigi-geligi yang cukup luas dan mamungkinkan untuk melihat gambaran gigi secara
keseluruhan / lengkap.
Pada teknik pengambilan gambar radiografi
oklusal, film diletakkan pada bidang oklusal gigi, dan arah sumber sinar berada
pada sisi bawah ataupun atas kepala. Sinar akan menumbuk struktur gigi pada
bagian oklusal, dan akan ditangkap oleh film oklusal. Hasil yang didapat ialah
gambaran struktur gigi-geligi dengan arah pandang dari sisi bidang oklusal.
Selain dari teknik cara kerja, prosesing film
juga mempengaruhi hasil dari pencitraan gambaran 2 dimensi. Radiografi
konvensional ini menggunakan prosesing manual, dimana masih menggunakan cairan
development dan fixing. Teknik yang digunakan cukup sederhana, dengan cara
mencelupkan film ke cairan tersebut untuk menghasilkan gambaran radiograf.
Citraan yang dihasilkan hanya sebatas lembaran radiograf 2 dimensi dengan
gambaran radiolusen (warna hitam) dan radiopaque (warna putih).
Pada radiografi konvensional keuntungan yang utama adalah
harganya yang relatif murah dan film lebih mudah ditempatkan di dalam rongga
mulut karena sifatnya yang fleksibel dan mudah dibengkokkan.(Peker et al,
2009). Sedangkan kekurangan dari radiografi konvensional adalah relatif tidak
efisien dalam mendeteksi radiasi dan juga membutuhkan penyinaran radiasi yang
lebih tinggi. Memerlukan prosesing untuk menghasilkan gambar dan proses ini
sering sekali menjadi sumber kesalahan serta pengulangan dalam pengambilan
gambar.Selain itu juga, hasil akhir dari radiografi dengan teknik konvensional
tetap sulit dimanipulasi dalam satu kali penyinaran. (Peker et al, 2009).
Interpretasi gambaran gigi
supernumerari dalam gambaran radiografi konvesiaonal dalam hal ini diambil
secara oklusal dan paniramik adalah dimana gigi supernumerary tampak seperti
gambaran radiopak, dimana terkadang terdapat suatu gambaran yang sedikit
berbeda dengan gigi supernumerari yang sebenarnya. Perbedaan itu mencangkup
perbedaan ukuran karena terjadi distorsi gambar seprti elongasi ataupun
superimposisi. Sehingga, akan sedikit lebih menyulitkan dalam membantu
penegakan diagnose kasus gigi supernumerary. Berikut gambaran radiografi gigi supernumerary
yang diambil dengan radiografi konvesional oklusan dan panoramic.
dari beberapa gambar diatas menunjukan gambaran kasus gigi
supernumerari yang diambil oleh radiografi konvensional. Dapat terlihat bahwa
gambaran yang diambil dengan menggunakan radiografi konvensional kurang terlalu
terlihat antara hubungan gigi supernumerary dengan jaringan lunak sekitarnya.
Selain itu kurang dapat terlihar kolerasi antara gigi supernumerary dengan gigi
tetangganya. hal ini terjadi karena keterbatasan radiografi konvensional yang
hanya menhadirkan gambaran 2-dimensi sedangkan anatomi dalam bentuk asli
merupakan suatu benda yang bersifat 3-dimensi.
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini akan membahas menganai
ketiga jurnal yang telah kami kaji dan telah kami pelajari. Dimana terdapat
tiga jurnal yaitu dengan satu jurnal utama dan dua jurnal pendukung. Jurnal
utama yang kami kaji dengan judul “Three-dimensional evaluation of
supernumerary teeth using cone-beam computed tomography for 487 cases” dan
dua jurnal pendukung lainnya dengan judul “ Reliability of panoramic
radiographs for identifying supernumerary teeth in children” dan “supernumerary
teeth in indian children: A survey of 300 case”. Dalam pembahasan kami
akan menerangkan kolerasi mengenai isi darikeseluruhan jurnal yang kami kaji.
Pada jurnal utama dijelaskan bahwa
gambaran gigi supernumerary yang di peroleh dngan menggunakan CBCT menunjukan
suatu gambara 3-dimensi yang jelas. Dimana kita tidak hanya mengetahui letak
dari gigi supernumerary tetapi kitapun dapat melihat bentuk dan relasi antara
gigi supernumerary dengan jaringan sekitarnya secara jelas. CBCT mampu
memvisualisasikan struktur dental dan skeletal yang berhubungan dengan lokasi
gigi supernumerari yang dievaluasi. Sehingga sangat membatu seorang
dokter dalam penegakan diagnose maupun rencana perawatan yang akan dilakukan
terhadap pasien. Penggunaan CBCT ini dinilai sangat efisien dalam mendeteksi
kasus gigi supernumerari terutama yang mengalami impaksi secara jelas. Selain
itu pada gambara CBCT sangat kecil kemungkinan gambar terjadi distorsi seperti
pada gambaran radiografi konvensional sehingga menyajikan suatu data yang
akurat. Namun kelemahandari CBCT ini adalah harga yang relative mahal sehingga
tidak semua kalangan mampu melakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan
CBCT.
Radiografi konvensional adalah suatu
radiografi yang menyajikan gambaran anatomi 2-dimensi. Dalam kasus gigi
supernumerary seperti yang telah dikaji pda jurnal pendukung dengan judul Reliability
of panoramic radiographs for identifying supernumerary teeth in children dan supernumerary
teeth in indian children: A survey of 300 case. disebutkan bahwa
penggunaan radiografi konvensional yang sering digunakan dalam mendeteksi
adanya gigi supernumerary seringkali menggunakan teknik radiografi panoramic
(OPG) dan oklusal. Karena kedua teknik tersebut dipertimbangkn dapat mendeteksi
insidensi gigi supernumerri lebih jelas dibandingkan dengan teknik radiografi
konvensional lainnya. Namun kelemahan yang dimiliki oleh radiografi
konvensional adalah dimana gambaran yang dihasilkn eringkali mengalami
distorsi. Dimana adanya ketidaksesuatuan struktur anatomi pada gambaran
radiografi dengan struktur anatomi yang aslinya. Hal ini jelas sangat merugikan
ketika seorang dokter gigi akan menegakan suatu kasus gigi supernumerari.
Selain itu gambaran jaringan lunak pada gambaran radiografi konvensional kurang
tercitra sehingga menyulitkan seorang dokter gigi ketika ingin melihat relasi
antara keberadaan gigi supernumerari dengan jaringan lunak disekelilingnya.
Namun kekurangan ini dapar diatasi jika kita berhati-hati dalam melakukan
pencitraan dengan menggunakan radiografi konvensional. Harga yang mudah
dijangkau seringkali menjadi alas an pasien untuk melakukan pemeriksaan
penunjang dengan menggunakan radiografi konvensional.
Dari inti kedua jurnal yang telah
dikaji, bahwa terdapat suatu perbedaan gambaran mengenai gigi
supernumerari yang dihasilkan oleh CBCT dengan radiografi konvensional.
Perbedaan dari gambaran tersebut adalah gambaran 2-dimensi yang dihasilkan CBCT
dan gambaran 2-dimensi yang dihasilkan oleh radiografi konvensional. Gambaran
CBCT lebih menunjukan suatu gambaran yang akurat dan jelas, tidak menunjukan
gambaran yang superimposisi karena gambaran yang dihasilkan merupakan suatu
gambaran 3-dimensi sehingga letak, bentuk , dan region dari gii supernumerari
dapat dideteksi dengan mudah. Namun harga pemeriksaan dengan CBCT relative mahal.
Sedangkan pada gambaran radiografi konvesional merupakan suatu gambaran
radiografi 2-dimensi yang seringkali mengalami distorsi seperti superimposisi.
Hal ini menyebabkan interpretasi yang sulit dan akurasi yang minimal sehingga
kurang membantu dalam menegakan diagnosis maupun rencana perawatan. Namun harga
pemeriksaan dengan menggunakan radiografi konvensional relative lebih murah
jika dibandungkan dengan CBCT.
Pengaplikasian penggunaan CBCT dan penggunaan
radiografi konvensional sama-sama dapat digunakan dalam mendeteksi kasus gigi
supernumerari. Perbedaannya terletak pada akurasigambar yang dihasilkan dan
harga. Sehingga penggunaan keduanya untuk mendeteksi kasus gigi supernumerari
menjadi suatu pertimbangan yang dapat dipilih oleh pasien itu sendiri.
KESIMPULAN
Dari jurnal dan literature yang telah dikasi
diatas, dapat disimpulkan bahwa
:
1.
gambaran yang dihasilkan oleh CBCT merupakan gambara 3-dimensi yang memiliki
akurasi yang lebih tinggi dalam interpretasi kasus gigi supernumerari jika
dibandingkan dengan radiografi konvensional.
2.
Harga pemeriksaan dengan menggunakan CBCT relative lebih mahal jika
dibandingkan dengan radiografi konvensional.
3.
pengaplikasian CBCT dan radiografi konvensional dalam mendeteksi kasus gigi
supernumerari dapat dipilih berdasarkan kebutuhan diagnose dan rencana
perawatan serta berdasar harga yang mampu dijangkau oleh pasien.
daftar pustaka
Allan, Firman G., 2007. Panoramic Radiology. Springer
: New York
Anthonappa, Robert P., et.al. Reliability of panoramic
radiographs for identifying
supernumerary teeth in children. International
Journal of Paedriatic Dentristry. 2012;22:37-4.
Epsilawati, Lusi. 2007. Cone Beam Computer Tomography
dan Medical Computed Tomografi. Bandung: FKG UNPAD
Gunawan, Margono., 1998. Radiologi
Intraoral Teknik, Prosesing, Interpretasi, Radiograf. EGC : Jakarta.
Liu, Deng-gao, et.al. Three-dimensional evaluations of
supernumerary teeth using
-beam computed tomography for 487 cases. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2007;103:403-11)
Mitchell, Laura. 2007. An Introduction to Orthodontics, 3rd ed.
New York: Oxford University Press Inc.
Scarfe, William C., et.al., Clinical
Applications of Cone-beam Computed Tomography in Dental Practice. J
Can Dent Assoc2006;72(1):75-80
Schulze D, Heiland M, Thurmann H, Adam G.
Radiation
exposure during midfacial imaging using 4- and 16-slice computed
tomography, cone beam computed tomography systems and conventional
radiography. Dentomaxillofac Radiol 2004;33:83-6.
Sharma, Amita and V. P. Singh. 2012.
Supernumerary Teeth in Indian Children: A Survey of 300 Cases. International
Journal of Dentistry. Vol. 2012: 1-5.
Peker I, Alkurt TM, Usalan G et al.2009.The
Comparison Of Subjective Image Quality In Conventional And Digital Panoramic
Radiography. Indian J Dent Res. 20 (1)
White, E. 2007. Essentials of dental
Radiography and Radiology, 4th edition. Gurcill Livingstone :
Philadelpia